ARJUNA SASRABAHU, PRABU, raja Maespati, yang di masa mudanya bernama Arjunawijaya, dalam pewayangan adalah titisan Batara Wisnu. la adalah putra Prabu Kartawirya alias Sasrawirya. Istrinya yang pertama bernama Dewi Citralangeni dari Kerajaan Tunjungpura. Yang kedua bernama Dewi Srinadi, putri Begawan Jumanten dari Pertapaan Giriretna. Selain itu ia masih mempunyai ratusan istri yang lain. Sebagai permaisurinya, diangkat Dewi Citrawati dari negeri Magada. Citrawati merupakan titisan Dewi Sri. Mengenai istri-istri Arjuna Sasrabahu, banyak dalang yang menyebutkan jumlahnya `seribu kurang satu'.
Arjuna Sasrabahu mempunyai seorang patih yang tampan dan sakti bernama Patih Suwanda atau Bambang Sumantri. Nama Arjuna Sasrabahu waktu muda, sebelum menjadi raja, adalah Arjunawijaya. Nama lainnya lagi adalah Wingsatibahu, yang artinya berbahu seribu. Nama ini sebagai julukan atas kekaguman orang akan kekuatan dan kesaktian Arjuna Sasrabahu.
Patih Suwanda, yang semula meragukan kesaktian Prabu Arjuna Sasrabahu, pernah mencoba menantangnya. Tantangan ini membuat raja Maespati itu murka dan melakukan triwikrama, mengubah ujud dirinya menjadi raksasa amat besar dan bengis. Menyadari bahwa rajanya bukanlah tandingannya, Patih Suwanda langsung bertekuk lutut dan mohon ampun. Prabu Arjuna Sasrabahu berkenan mengampuninya, namun Patih Suwanda dipecat dari jabatannya. Patih Suwanda pun diturunkan pangkatnya menjadi prajurit biasa, dan namanya kembali menjadi Bambang Sumantri.
Sang permaisuri, Dewi Citrawati, ternyata adalah wanita yang banyak permintaannya. Raja Maespati itu sempat dibuat bingung waktu Citrawati minta agar suaminya memindahkan Taman Sriwedari dari Kahyangan Untarasegara ke Maespati dalam keadaan utuh. Untuk memenuhi permintaan istrinya, Arjuna Sasrabahu menawarkan tugas pemindahan taman itu pada Bambang Sumantri. Jika berhasil, Bambang Sumantri akan diangkat kembali menjadi patihnya.
Untunglah Bambang Sumantri dibantu oleh adiknya yang sakti, Sukasrana. Taman Sriwedari berhasil dipindahkan ke Maespati dalam keadaan utuh dan lengkap. Dengan demikian jabatan Patih Maespati kembali diserahkan pada Bambang Sumantri.
Pada suatu saat, Dewi Citrawati menyatakan keinginannya pada suaminya, berenang-renang di Sungai Gangga. Untuk memenuhi keinginan istrinya, Prabu Arjunasasrabahu lalu triwikrama lagi, menjelma menjadi raksasa maha besar. Dengan tubuh yang amat besar itu merebahkan dirinya melintang di sungai, seolah menjadi bendungan. Dengan cara itu maka air sungai itu pun meluap dan nyaman untuk berenang. Tetapi luapan air sungai itu kemudian meluas sampai ke padang kemah tentara Alengka yang saat itu sedang dipersiapkan menyerbu Kerajaan Maespati. Prabu Dasamuka yang memimpin sendiri pasukan raksasa dari Alengka menjadi marah. la mengutus anak buahnya untuk menyelidiki penyebab banjir itu. Setelah mendapat laporan mengenai apa yang terjadi, Prabu Dasamuka segera mendatangi Prabu Arjuna Sasrabahu. Tetapi sebelum Dasamuka berhadapan dengan raja Maespati itu, Patih Suwanda datang menghadang. Terjadilah perang tanding di antara keduanya, dan Patih Suwanda gugur.
Mendengar tewasnya Patih Suwanda, Prabu Arjuna Sasrabahu segera tampil menghadapi Prabu Dasamuka. Namun Dasamuka yang memiliki Aji Pancasona ternyata tak dapat mati. Begitu tewas, dan badannya menghempas ke bumi, langsung ia bangkit dan hidup kembali. Demikian berkali-kali terjadi. Walaupun tidak berhasil membunuh Dasamuka, Prabu Arjuna Sasrabahu yang triwikrama akhirnya dapat meringkus Dasamuka. Dengan menggunakan anak panah pusaka Kalamanggaseta, raja Alengka itu dirantai, dibawa ke Kerajaan Maespati. Sepanjang perjalanan ke Maespati, Dasamuka diseret kereta kerajaan, dan dijadikan tontonan rakyat.
Arjuna Sasrabahu mempunyai seorang patih yang tampan dan sakti bernama Patih Suwanda atau Bambang Sumantri. Nama Arjuna Sasrabahu waktu muda, sebelum menjadi raja, adalah Arjunawijaya. Nama lainnya lagi adalah Wingsatibahu, yang artinya berbahu seribu. Nama ini sebagai julukan atas kekaguman orang akan kekuatan dan kesaktian Arjuna Sasrabahu.
Patih Suwanda, yang semula meragukan kesaktian Prabu Arjuna Sasrabahu, pernah mencoba menantangnya. Tantangan ini membuat raja Maespati itu murka dan melakukan triwikrama, mengubah ujud dirinya menjadi raksasa amat besar dan bengis. Menyadari bahwa rajanya bukanlah tandingannya, Patih Suwanda langsung bertekuk lutut dan mohon ampun. Prabu Arjuna Sasrabahu berkenan mengampuninya, namun Patih Suwanda dipecat dari jabatannya. Patih Suwanda pun diturunkan pangkatnya menjadi prajurit biasa, dan namanya kembali menjadi Bambang Sumantri.
Sang permaisuri, Dewi Citrawati, ternyata adalah wanita yang banyak permintaannya. Raja Maespati itu sempat dibuat bingung waktu Citrawati minta agar suaminya memindahkan Taman Sriwedari dari Kahyangan Untarasegara ke Maespati dalam keadaan utuh. Untuk memenuhi permintaan istrinya, Arjuna Sasrabahu menawarkan tugas pemindahan taman itu pada Bambang Sumantri. Jika berhasil, Bambang Sumantri akan diangkat kembali menjadi patihnya.
Untunglah Bambang Sumantri dibantu oleh adiknya yang sakti, Sukasrana. Taman Sriwedari berhasil dipindahkan ke Maespati dalam keadaan utuh dan lengkap. Dengan demikian jabatan Patih Maespati kembali diserahkan pada Bambang Sumantri.
Pada suatu saat, Dewi Citrawati menyatakan keinginannya pada suaminya, berenang-renang di Sungai Gangga. Untuk memenuhi keinginan istrinya, Prabu Arjunasasrabahu lalu triwikrama lagi, menjelma menjadi raksasa maha besar. Dengan tubuh yang amat besar itu merebahkan dirinya melintang di sungai, seolah menjadi bendungan. Dengan cara itu maka air sungai itu pun meluap dan nyaman untuk berenang. Tetapi luapan air sungai itu kemudian meluas sampai ke padang kemah tentara Alengka yang saat itu sedang dipersiapkan menyerbu Kerajaan Maespati. Prabu Dasamuka yang memimpin sendiri pasukan raksasa dari Alengka menjadi marah. la mengutus anak buahnya untuk menyelidiki penyebab banjir itu. Setelah mendapat laporan mengenai apa yang terjadi, Prabu Dasamuka segera mendatangi Prabu Arjuna Sasrabahu. Tetapi sebelum Dasamuka berhadapan dengan raja Maespati itu, Patih Suwanda datang menghadang. Terjadilah perang tanding di antara keduanya, dan Patih Suwanda gugur.
Mendengar tewasnya Patih Suwanda, Prabu Arjuna Sasrabahu segera tampil menghadapi Prabu Dasamuka. Namun Dasamuka yang memiliki Aji Pancasona ternyata tak dapat mati. Begitu tewas, dan badannya menghempas ke bumi, langsung ia bangkit dan hidup kembali. Demikian berkali-kali terjadi. Walaupun tidak berhasil membunuh Dasamuka, Prabu Arjuna Sasrabahu yang triwikrama akhirnya dapat meringkus Dasamuka. Dengan menggunakan anak panah pusaka Kalamanggaseta, raja Alengka itu dirantai, dibawa ke Kerajaan Maespati. Sepanjang perjalanan ke Maespati, Dasamuka diseret kereta kerajaan, dan dijadikan tontonan rakyat.
Resi Pulasta, kakek Dasamuka turun dari kahyangan menghadap Prabu Arjuna Sasrabahu, memohonkan ampun bagi Dasamuka. Arjuna Sasrabahu bersedia mengampuninya dan melepaskan raja Alengka itu dari belenggu Kalamanggaseta, namun Dasamuka harus lebih dulu bersumpah tak akan membuat onar lagi.
Setelah Patih Suwanda alias Sumantri gugur, Prabu Arjuna Sasrabahu mengangkat Bambang Kartanadi sebagai patihnya, dan namanya diganti menjadi Patih Surata.
Sebagai raja, Arjuna Sasrabahu tergolong kurang bijaksana. Apalagi setelah Patih Suwanda gugur, ia sering bertindak tanpa pertimbangan yang bijaksana. Suatu saat ketika sedang berkelana bersama para putra dan pengawalnya, raja Maespati itu membunuh Begawan Jamadagni hanya karena suatu persoalan yang sepele. Waktu itu Maharesi Jamadagni menuntut keadilan, karena ternak peliharaanya dibunuh para prajurit pengawal Arjunasasrabahu.
Raja Maespati itu bukan menunjukkan sikap adil, tetapi malahan merasa tersinggung dan menyuruh para pengawalnya membunuh pertapa itu. Karena kejadian ini Batara Wisnu merasa enggan menitis pada Prabu Arjuna Sasrabahu. Raja Maespati itu tidak lagi dianggap pantas menjadi titisan Wisnu. Dewa itu lalu oncat meninggalkan raga raja Maespati itu, kembali ke kahyangan. Rama Parasu, anak bungsu Begawan Jamadagni, sesudah mengetahui kejadian itu segera menyusul Arjuna Sasrabahu. Pertapa muda itu berniat hendak menghukum raja yang telah membunuh ayahnya. Mereka lalu berperang tanding, dan Arjuna Sasrabahu mati. Kemampuan Prabu Arjuna Sasrabahu untuk melakukan triwikrama punah, karena Batara Wisnu sudah tidak lagi menitis dalam tubuh raja Maespati itu. Para senapati Maespati yang tidak dapat menerima kematian rajanya, mencoba membunuh Rama Parasu. Namun pertapa muda yang sakti itu bukan tandingan mereka. Semua senapati Maespati mati, dinasti Arjuna Sasrabahu punah, dan Kerajaan Maespati yang besar itupun akhirnya runtuh.
Walaupun dalam pewayangan pada umumnya Arjuna Sasrabahu dianggap sebagai salah seorang titisan Batara Wisnu tetapi cukup banyak buku pewayangan dan kepustakaan India yang tidak menggolongkan raja Mahespati itu sebagai salah satu awatara atau titisan Dewa Wisnu. Pada seni kriya Wayang Kulit Purwa gagrak Yogyakarta, tokoh Arjuna Sasrabahu dilukiskan dalam empat wanda, yakni Sedet, Padasih, Kanyut dan Panuksma. Bentuk peraga wayang Arjuna Sasrabahu gagrak Jawatimuran berbeda jauh dengan gagrak Surakarta, Yogyakarta, Banyumas, dan daerah lain lagi. Di daerah itu Arjuna Sasrabahu dirupakan dalam bentuk wayang gagahan, bermahkota tetapi memakai gelung sapit urang dan sebagian rambut terurai sampai ke bahu. Kedua tangannya dipenuhi oleh ornamen yang menggambarkan 'bahu seribu'. Selain itu, Arjuna Sasrabahu mengenakan kain poleng, mirip dengan yang dikenakan peraga wayang Bima.
Lakon-lakon yang Melibatkan Arjuna Sasrabahu:
Walaupun dalam pewayangan pada umumnya Arjuna Sasrabahu dianggap sebagai salah seorang titisan Batara Wisnu tetapi cukup banyak buku pewayangan dan kepustakaan India yang tidak menggolongkan raja Mahespati itu sebagai salah satu awatara atau titisan Dewa Wisnu. Pada seni kriya Wayang Kulit Purwa gagrak Yogyakarta, tokoh Arjuna Sasrabahu dilukiskan dalam empat wanda, yakni Sedet, Padasih, Kanyut dan Panuksma. Bentuk peraga wayang Arjuna Sasrabahu gagrak Jawatimuran berbeda jauh dengan gagrak Surakarta, Yogyakarta, Banyumas, dan daerah lain lagi. Di daerah itu Arjuna Sasrabahu dirupakan dalam bentuk wayang gagahan, bermahkota tetapi memakai gelung sapit urang dan sebagian rambut terurai sampai ke bahu. Kedua tangannya dipenuhi oleh ornamen yang menggambarkan 'bahu seribu'. Selain itu, Arjuna Sasrabahu mengenakan kain poleng, mirip dengan yang dikenakan peraga wayang Bima.
Lakon-lakon yang Melibatkan Arjuna Sasrabahu:
- Sumantri Ngenger
- Arjuna Sasrabahu Tambak
- Arjuna Sasrabahu Lena
- Sumantri Lena