Berasal dari manakah alat musik angklung? Seperti yang kita tahu, angklung adalah salah satu alat musik tradisional Indonesia. Angklung termasuk ke dalam jenis alat musik multitonal atau alat musik bernada ganda. Alat musik yang terbuat dari bambu ini dimainkan dengan cara digoyangkan sehingga menghasilkan bunyi. Bunyi tersebut menghasilkan susunan nada 2,3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik kecil maupun besar. Bunyi tersebut berasal dari benturan badan pipa bambu.
Angklung Berasal Dari?
Sebagai alat musik tradisional, angklung sangat populer digunakan sebagai alat pengiring musik atau lagu dalam setiap pagelaran seni. Bahkan, alat ini sering dipentaskan sampai ke luar negeri pada banyak acara pentas budaya dunia. Pemain angklung yang telah mahir dapat dengan mudah mengiringi sebuah lagi, baik itu lagu tradisional, maupun lagu modern.
Nah pada kesempatan ini kami akan menginformasikan tentang berasal dari manakah angklung itu. Semoga setelah membaca uraian ini, kita bisa mengetahui dan memahami tentang asal daerah alat musik angklung ini.
Sejarah Angklung
Angklung adalah alat musik yang terbuat dari bambu berbentuk batang-batang pipa yang telah dipotong bagian ujungnya, mirip dengan pipa dalam suatu organ. Pipa bambu tersebut diikat bersama-sama dalam suatu bingkai, digetarkan untuk menghasilkan bunyi nada. Tidak diketahui secara pasti mengenai kapan pertama kali angklung digunakan sebagai alat musik.
Namun, para ahli menduga bahwa angklung telah digunakan sejak zaman Neolitikum dan menjadi bagian dari relik pra-Hinduisme kebudayaan Nusantara. Catatan tertua tentang alat musik angklung mengacu pada masa Kerajaan Sunda sekitar abad ke-12 sampai abad ke-16.
Terciptanya angklung dan juga alat musik bambu lainnya tidak terlepas dari kehidupan masyarakat Sunda yang bercorak agraris dengan padi (pare) sebagai bahan makanan pokok. Padi dianggap sebagai sumber kehidupan yang ditumbuh suburkan oleh Dewi Padi yang bernama Nyai Sri Pohaci sebagai pemberi kehidupan (hirup-hurip).
Masyarakat Sunda melakukan ritual untuk mengawali penanaman padi menggunakan angklung. Angklung dimainkan dengan tujuan memikat Dewi Sri Pohaci untuk turun ke bumi agar tanaman padi masyarakat tumbuh subur. Jadi, bisa dikatakan bahwa asal mula alat musik angklung ini berasal dari ritual penanaman padi. Masyarakat Baduy yang dianggap sebagai keturunan Sunda asli masih menerapkan ritual ini.
Ritual dilakukan dengan cara memainkan lagu-lagu persembahan kepada Dewi Padi disertai dengan bunyi-bunyian yang berasal dari batang-batang bambu. Bambu tersebut dikemas secara sederhana dan disusun sedemikian rupa untuk menghasilkan nada pengiring lagu. Struktur susunan bambu inilah yang sekarang bernama angklung. Ritual padi berlanjut pada saat masa panen. Angklung dimainkan pada saat masyarakat melakukan acara pesta panen dan seren taun.
Selain digunakan dalam ritual padi, angklung juga berfungsi sebagai pembangkit semangat dalam pertempuran pada masa kerajaan Sunda. Fungsi ini bahkan terus dipakai hingga ke masa penjajahan untuk memompa semangat melawan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda pun dibuat repot dengan alat musik ini sehingga mengeluarkan larangan untuk memainkan angklung. Akibat dari pelarangan tersebut, popularitas angklung sempat menurun dan hanya dimainkan oleh anak-anak pada waktu itu.
Perkembangan Angklung
Angklung dengan cepat tersebar ke seantero Pulau Jawa, terus berkembang sampai ke Sumatera dan Kalimantan. Bahkan, telah sampai ke Thailand melalui sebuah misi kebudayaan pada tahun 1908. Dalam kunjungan ke Thailand tersebut diserahkan alat musik angklung, lalu alat musik bambu ini sempat menyebar di sana.
Cara bermain angklung secara serius mulai diajarkan pada tahun 1966 oleh Udjo Ngalagena kepada banyak orang dari berbagai komunitas. Udjo Ngalagena merupakan tokoh angklung yang banyak menciptakan teknik bermain angklung berdasarkan laras-laras salendro, madenda, dan pelog.
Sejak November 2010, angklung telah terdaftar di UNESCO sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia. Artinya, angklung telah diakui sebagai salah satu warisan dunia yang sangat penting untuk dilestarikan.
Jenis Bambu untuk Angklung
Jenis bambu yang sering digunakan untuk membuat alat musik angklung adalah bambu ater (awi temen) dan bambu hitam (awi wulung). Dua jenis bambu ini akan berwarna kuning keputihan saat mengering. Bambu dibentuk seperti tabung yang berbentuk bilah (wilahan) dengan bermacam-macam ukuran dari yang kecil sampai besar. Tiap nada (laras) dihasilkan dari tabung-tabung bambu tersebut.
Angklung Berasal Dari?
Alat musik angklung berasal dari Jawa Barat. Alat musik angklung terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara digoyang. Pada awalnya, alat musik angklung menggunakan tangga nada pentatonis, tetapi sekarang angklung menggunakan tangga nada diatonis.Jenis-Jenis Angklung
Angklung terdiri dari beberapa jenis, antara lain sebagai berikut:
1. Angklung Kanekes
Kanekes adalah nama sebuah daerah yang terletak di Kabupaten Lebak, Banten. Orang-orang yang tinggal di daerah ini disebut juga dengan orang Baduy, masyarakat yang sering dianggap sebagai keturunan Sunda asli. Selain untuk hiburan, alat musik angklung di daerah ini sering digunakan untuk ritual padi. Ketika memasuki musim tanam, angklung digunakan atau dibunyikan.
Bunyi angklung saat menanam padi bisa bebas (dikurulungkeun), cara ini dipakai oleh orang-orang di Kajeroan (Baduy Jero, Tangtu). Adapula angklung dibunyikan dengan ritmis tertentu, cara ini digunakan oleh orang-orang di Kaluaran (Baduy Luar). Namun demikian, angklung diperbolehkan untuk dimainkan di luar acara ritual padi, tetapi ada aturan yang mengikat. Contohnya, angklung bisa dibunyikan sampai masa ngubaran pare (mengobati padi), atau pada saat padi berusia 3 bulan.
Setelah itu, selama 6 bulan berikutnya tidak diperbolehkan untuk memainkan alat kesenian apapun. Hanya boleh dimainkan pada saat musim tanam padi berikutnya. Menutup angklung juga diatur melalui cara tertentu, yang disebut musungkeun angklung, yaitu menitipkan atau menyimpan angklung setelah dipakai (nitipkeun).
Angklung sering dibunyikan sebagai sarana hiburan terutama pada saat terang bulan atau tidak hujan. Angklung tersebut dimainkan di halaman luas pedesaan (buruan) untuk mengiringi bermacam-macam lagu, seperti: Culadi Dengdang, Papacangan, Keupat Reundang, Celementre, Rangda Ngendong, Salak Sadapur, Marengo, Aceukna, Ngaranggeong, Giler, Mulung Muncang, Rujak Gadung, Gandrung Manggu, Pileuleuyan, Ayun-Ayunan, Kokoloyoran, Badan Kula, Oyong-oyong Bangkong, Yari Gandang, Dengdang, Oray-orayan, Ceuk Arileu, Yandu Sala, Yandu Bibi, dan Lutung Kasarung.
Para pemain angkulung yang berjumlah 8 orang ditambah 3 orang pemain bedug kecil membentuk formasi tertentu, dengan cara berdiri sambil berjalan membentuk lingkaran. Sedangkan yang lainnyam melakukan ngalage (menari) dengan gerakan sederhana namun telah baku. Keseluruhan rangkaian ini hanya dilakukan oleh laki-laki. Terdapat aturan yang berbeda pada masyarakat Baduy Dalam, yaitu mereka di atur oleh adat dengan berbagai ajaran pamali (tabu, pantangan), seperti tidak boleh berlebihan dalam melakukan hal-hal kesenangan duniawi. Kesenian hanya ditujukan untuk melakukan ritual.
Di daerah Kanekes terdapat bermacam-macam nama angklung. Dari yang terkecil sampai yang terbesar, antara lain: Roel, torolok, indung leutik, engklok, gunjing, dongdong, ringkung, dan indung. Jenis Roel terdiri atas 2 buah angklung yang dipegang oleh 1 orang pemain. Sementara itu bedug pengiring mulai dari yang terpendek adalah: ketuk, talingtit, dan bedug. Terdapat perbedaan terkait penggunaan bedug pengiring ini, seperti di Kajeroan, kampung Cikeusik hanya menggunakan talingtit dan bedug, tanpa ketuk. Di kampung-kampung Kaluaran menggunakan 3 buah bedug. Sedangkan, di kampung Cibeo hanya menggunakan bedug, tanpa ketuk dan talingtit.
Tidak semua orang diperbolehkan untuk membuat angklung di daerah Kanekes. Orang yang berhak membuat angklung hanyalah orang Kajeroan (Baduy Jero, Tangtu). Kajeroan terdiri atas 3 kampung, yaitu Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo. Pada ketiga kampung itu juga, tidak semua orang diperbolehkan untuk membuat angklung. Hanya orang yang berhak saja dan berasal dari turunan tertentu yang dilengkapi dengan syarat-syarat ritual. Ayah Amir (59) adalah pembuat angklung terkenal yang berasal dari Cikeusik. Sedangkan, di Cikartawanan bernama Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli angklung dari ke tiga kampung tersebut.
2. Angklung Buncis
Buncis adalah nama seni pertunjukan yang sifatnya hiburan, banyak terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada awalnya, Buncis dipakai pada acara-acara pertanian yang berkaitan dengan padi. Tetapi di masa sekarang, buncis sering digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini disebabkan oleh pergeseran pandangan masyarakat yang mulai kurang mementingkan hal-hal yang berbau kepercayaan lama. Fenomena itu mulai terjadi sejak tahun 1940-an, dimana ritual Buncis mulai jarang digunakan sebagai penghormatan padi.
Praktis, buncis hanya dipakai sebagai sarana hiburan saja. Sejalan dengan itu, di rumah-rumah penduduk mulai hilang tempat-tempat penyimpanan padi (leuit, lumbung). Masyarakat lebih memilih menggunakan cara praktis, seperti tempat-tempat karung karena mudah dibawa ke mana-mana. Penggunaan lumbung telah banyak ditinggalkan karena padi pasca panen langsung dijual. Dengan demikian, kesenian buncis yang dulunya ditujukan untuk acara-acara membawa padi (ngunjal) tidak digunakan lagi.
Buncis adalah nama kesenian yang diambil dari teks sebuah lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle..., dst. Dalam kesenian buncis terdapat teks tersebut, sehingga kesenian ini disebut buncis. Dalam kesenian buncis, angklung yang digunakan adalah: 1 angklung enclok, 2 angklung pancer, angklung panempas, 2 angklung ambrug, 2 angklung indung. Sedangkan, alat pengiring lainnya seperti badublag, panembal, dan 1 talingtit. Dalam perkembangannya ditambah dengan alat goong, kecrek, dan tarompet.
Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal yang berlaras degung atau medenda. Lagu-lagu buncis yang sering dimainkan adalah: Mega Beureum, Ela-ela, Jangjalik, Jalantir, Senggot, Renggong, Buncis, dan Badud. Saat sekarang ini lagu-lagu buncis telah memakai juga lagu-lagu dari gamelan.
Kesenian Badeng menggunakan 9 buah angklung yang terdiri dari 2 angklung anak, angklung bapa, 4 angklung indung, 1 angklung kecer, dan 2 angklung roel. Selain itu menggunakan juga 1 kecrek, 2 buah gembyung atau terbang, dan 2 buah dogdog. Badeng menggunakan teks berbahasa Sunda yang dicampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya, Badeng sekarang ini menggunakan Bahasa Indonesia. Isi teks dalam kesenian badeng memuat nasihat-nasihat baik dan nilai-nilai Islami, serta menurut keperluan acara. Dalam pertunjukan kesenian badeng, disajikan lagu-lagu, atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.
Lagu-lagu yang terkenal dalam kesenian badeng adalah Solaloh, Lilimbungan, Yautike, Kasreng, Yati, dan Lailahaileloh.
Saat kerajaan bantarangin meraih kemenangan para prajurit gembira, termasuk pemegang angklung. Karena kekuatan yang sangat luar biasa penguat dari tali tersebut lenggang sampai mengeluarkan bunyi yang khas, yaitu klung-kluk dan klong-klok. Siapapun yang mendengarkan akan merasakan getaran spiritual.
Dalam perkembangannya, angklung reyog ini pernah digunakan dalam film Warok Singo Kobra (1982) dan Tendangan Dari Langit (2011). Angklung Reyong sering digunakan untuk mengiringi musik seperti campursari, Resik Endah Omber Girang, Kuto Reog, Sumpah Palapa, dan Tahu Opo Tempe.
3. Angklung Badeng
Badeng adalah nama kesenian musikal yang menggunakan angklung sebagai alat musik utama. Kesenian ini berasal dari Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut. Pada zaman dahulu, Badeng berfungsi sebagai sarana hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi, banyak duga yang menduga bahwa badeng mulai dimainkan jauh sebelum masa Islam dalam setiap acara ritual penanaman padi. Setelah Islam datang sekitar abad ke-16 atau 17, badeng digunakan sebagai alat bantu dakwah. Pada masa itu penduduk Nursaen, Arpaen, dan Sanding mempelajari agama Islam di Kerajaan Demak. Setelah pulang dari Kerajaan Demak, mereka melakukan dakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu cara menarik perhatian penduduk adalah melalui sarana kesenian Badeng.Kesenian Badeng menggunakan 9 buah angklung yang terdiri dari 2 angklung anak, angklung bapa, 4 angklung indung, 1 angklung kecer, dan 2 angklung roel. Selain itu menggunakan juga 1 kecrek, 2 buah gembyung atau terbang, dan 2 buah dogdog. Badeng menggunakan teks berbahasa Sunda yang dicampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya, Badeng sekarang ini menggunakan Bahasa Indonesia. Isi teks dalam kesenian badeng memuat nasihat-nasihat baik dan nilai-nilai Islami, serta menurut keperluan acara. Dalam pertunjukan kesenian badeng, disajikan lagu-lagu, atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.
Lagu-lagu yang terkenal dalam kesenian badeng adalah Solaloh, Lilimbungan, Yautike, Kasreng, Yati, dan Lailahaileloh.
4. Angklung Reyog
Angklung reyog sering digunakan sebagai alat musik pengiring dalam kesenian tarian Reyog Ponorogo di Jawa Timur. Ciri khas dari angklung jenis ini adalah memiliki dua nada, bentuk lengkungan rotan yang menarik, hiasan benang berumbai-rumbai warna yang indah, serta suaranya yang sangat keras. Terdapat kisah bahwa angklung adalah senjata dari kerajaan bantarangin untuk melawan kerajaan lodaya pada abad ke-9.Saat kerajaan bantarangin meraih kemenangan para prajurit gembira, termasuk pemegang angklung. Karena kekuatan yang sangat luar biasa penguat dari tali tersebut lenggang sampai mengeluarkan bunyi yang khas, yaitu klung-kluk dan klong-klok. Siapapun yang mendengarkan akan merasakan getaran spiritual.
Dalam perkembangannya, angklung reyog ini pernah digunakan dalam film Warok Singo Kobra (1982) dan Tendangan Dari Langit (2011). Angklung Reyong sering digunakan untuk mengiringi musik seperti campursari, Resik Endah Omber Girang, Kuto Reog, Sumpah Palapa, dan Tahu Opo Tempe.
5. Angklung Sri-Murni
Angklung ini berasal dari gagasan Eko Mursito Budi yang khusus diciptakan untuk keperluan robot angklung. Sesuai dengan namanya, angklung jenis ini memakai dua atau lebih tabung suara bernada sama, sehingga akan menghasilkan nada murni (monotonal). Ini berbeda dengan angklung padaeng yang multitonal. Dengan ide sederhana ini, robot dengan mudah memainkan kombinasi beberapa angklung secara simultan untuk menirukan efek angklung melodi maupun angklung akompanimen.6. Angklung Padaeng
Angklung padaeng adalah angklung yang dikenalkan oleh Daeng Soetigna sejak sekitar tahun 1938. Terobosan pada angklung padaeng adalah digunakannya laras nada Diatonik yang sesuai dengan sistem musik barat. Dengan demikian, angklung kini dapat memainkan lagu-lagu internasional, dan juga dapat bermain dalam Ensembel dengan alat musik internasional lainnya.7. Angklung Sarinande
Angklung sarinande adalah istilah untuk angklung padaeng yang hanya memakai nada bulat saja (tanpa nada kromatis) dengan nada dasar C. Unit kecil angklung sarinade berisi 8 angklung (nada Do Rendah sampai Do Tinggi), sementara sarinade plus berisi 13 angklung (nada Sol Rendah hingga Mi Tinggi).8. Angklung Toel
Angklung toel diciptakan oleh Kang Yayan Udjo sekitar tahun 2008. Pada alat ini, ada rangka setinggi pinggang dengan beberapa angklung dijejer dengan posisi terbalik dan diberi karet. Untuk memainkannya, seorang pemain cukup men-toel angklung tersebut, dan angklung akan bergetar beberapa saat karena adanya karet.9. Angklung Gubrag
Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung). Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik.10. Angklung Banyuwangi
Angklung banyuwangi ini memiliki bentuk seperi calung dengan nada budaya banyuwangi11. Angklung Bali
Angklung bali memiliki bentuk dan nada yang khas bali.12. Angklung solo
Angklung solo adalah konfigurasi di mana satu unit angklung melodi digantung pada suatu palang sehingga bisa dimainkan satu orang saja. Sesuai dengan konvensi nada diatonis, maka ada dua jajaran gantungan angklung, yang bawah berisi nada penuh, sedangkan yang atas berisi nada kromatis. Angklung Solo ini digagas oleh Yoes Roesadi tahun 1964, dan dimainkan bersama alat musik basanova dalam group yang menamakan diri Aruba (Alunan Rumpun Bambu). Sekitar tahun 1969, nama Aruba ini disesuaikan menjadi Arumba.Cara Memainkan Angklung
Adapun cara memainkan sebuah pada dasarnya sangat mudah, yakni satu tangan memegang rangka angklung, dan tangan yang lain menggoyangkannya hingga menghasilkan bunyi. Terdapat tiga teknik dasar menggoyangkan angklung, yaitu:1. Kurulung (getar)
Kurulung (getar) merupakan teknik yang paling umum dipakai, di mana satu tangan memegang rangka angklung, dan tangan lainnya menggoyangkan angklung selama nada yang diinginkan, hingga tabung-tabung bambu yang ada silih beradu dan menghasilkan bunyi angklung.2. Cetok (sentak)
Cetok (sentak) adalah teknik di mana tabung dasar ditarik dengan cepat oleh jari ke telapak tangan kanan, sehingga angklung akan berbunyi sekali saja (stacato).3. Tengkep
Tengkep adalah teknik yang mirip seperti kurulung, namun salah satu tabung ditahan tidak ikut bergetar.Angklung Modern
Secara esensial, angklung adalah alat musik bambu yang dimainkan dengan digetar. Hal tersebut tidak boleh diubah. Meski demikian, berbagai upaya kreatif untuk memodernisasinya terus berlangsung, seperti:- Angklung elektrik karya Agus Suhardiman
- Angklung otomatis, Tugas akhir Kadek Kertayasa di STIKOM Surabaya
- Tra-digi, angklung robot yang dikontrol oleh i-pod, ciptaan Hasim Ghozali.
- Klungbot, robot angklung yang mula-mula dikreasi oleh Krisna Diastama dan Karismanto
- Rahmadika, kemudian dilanjutkan oleh Eko Mursito Budi.