Malam itu di Pesanggrahan Pandawa Mandalayuda, Prabu Puntadewa masih duduk di bangunan yang dirupa sebagai pendapa. Diantaranya duduk Prabu Matswapati dan Prabu Kresna.
“Eyang Baginda, tak ada rasa sedih seperti yang terjadi pada saat ini. Kemenangan demi kemenangan telah kami dapatkan hari demi hari disepanjang Perang Baratayuda Jayabinangun ini. Namun kemenangan demi kemenangan telah dibeli dengan jatuhnya tawur para saudara, orang tua, guru, dan semua orang yang sepantasnya hamba beri kemukten. Puncaknya, hari ini, tangan hamba telah mengantarkan Uwa Prabu Salya ke tepet suci. Sekecil ujud debupun, hamba tidak mengira, bahwa gerak tangan hamba ini akan menjadi lantaran perginya Uwa Mandaraka”.
Prabu Matswapati menarik nafas panjang. Apa yang dikatakan oleh Prabu Puntadewa adalah hal yang sangat dipahaminya. Sesal sekecil apapun pasti membekas di dada Puntadewa yang begitu teguh memegang kesucian diri. Maka sejurus kemudian ia berkata, “Cucu Prabu, sebagaimana telah terjadi pada trah Matsya, tumpasnya anak anak lelaki yang aku punyai Seta, Utara dan Wratsangka pada mulanya telah membuat sesal dan sedih. Tetapi semoga cucu Prabu menjadikan contoh dari perasaanku terhadap takdir. Semua kejadian yang telah terjadi hendaknya dipasrahkan saja kepada Yang Maha Mengatur. Berikanlah jiwa ini keringanan beban, serahkan segalanya kembali kepada-Nya, sehingga kita menjadi ringan dalam melangkahi hari hari didepan.
Kalimat yang dikatakan Eyangnya yang sangat dihormati telah sedikit memberi pencerahan di hati Prabu Puntadewa yang segera mengatakan isi hatinya yang masih terpendam “Sabda Eyang Baginda Matswapati sedapat mungkin akan hamba akan lakukan. Tetapi Eyang, masih ada beberapa saudara kita Kurawa termasuk Kanda Prabu Duryudana masih belum kelihatan dalam perang hari ini. Maka perkenankan hamba mohon kepada Kanda Prabu Kresna, mumpung dalam pertemuan ini juga hadir, agar besok hari untuk bersama sama membimbing saudara saudara kami Pandawa, untuk mencari keberadaan kanda Prabu Duryudana. Ajaklah kanda Prabu untuk kembali ke Astina”.
Sejenak Prabu Puntadewa terdiam, seakan ada sesuatu yang penting hendak disampaikan; “Eyang, hamba akan pasrahkan seutuhnya Negara Astina untuk membangun kembali diatas reruntuhan yang terjadi dalam perang. Hamba bersaudara telah mengambil keputusan untuk hanya menempati Negara yang kami bangun dengan keringat dan darah kami sendiri, Negara Indraparahasta atau Amarta!”
Tersenyum Prabu Matwapati, sangat mengerti ia akan keluhuran budi cucu yang satu itu. Keputusan yang sebenarnya telah disampaikannya pada sebelum korban berjatuhan dan menjadi luluh lantak. Walau kemenangan sudah dikatakan telah ada di tangan, tetapi keputusan semula masih saja ia pegang “Cucu Prabu Punta, begitu luhur budimu. Untukmu kaki Kresna, segera setelah sidang sore ini terlaksana, bersiaplah untuk mencari keberadaan Prabu Duryudana. Eyangmu sangat setuju dengan putusan yang diambil oleh cucu Puntadewa, yang hanya mengambil Negara yang dibangun atas landasan hutan Mertani ketika itu.
Maka ketika cerah mentari pagi telah menerangi hari, Prabu Kresna telah berada diluar Medan Kuru yang hari itu menjadi demikian sepi. Hiruk pikuk peperangan yang telah berlangsung sejak delapan belas hari telah menyisakan pemandangan yang begitu mengerikan.
Namun Prabu Kresna teringat akan ucapannya ketika Prabu Baladewa yang disisihkan dengan tipu dayanya, agar tidak ikut ikutan dalam perang, dan harus bertapa di Grojogan Sewu atau air terjun dengan seribu alur. Tetapi ia berjanji bahwa walaupun hanya sekejap sajapun, kakaknya diberi waktu untuk menyaksikan perang itu.
Disitu Prabu Baladewa bertapa memuja ke hadapan Dewa, agar diberikanlah kerukunan antara saudara saudaranya Kurawa dan Pandawa. Ketika itulah Kresna sudah sampai di tempat Prabu Baladewa bersemedi.
“Dosa besarlah namanya, Werkudara, bila seseorang membangunkan orang yang sedang bertapa. Tetapi kali ini ada hal yang tidak dapat ditunda lagi. Mari dinda, bantu aku mengheningkan cipta untuk membangunkan kanda Baladewa dengan aji Pameling”. Kata Kresna kepada Werkudara setelah berada di hadapan Prabu Baladewa yang selalu dijaga putranya Raden Setyaka.
Segera Prabu Kresna bersemadi membisikkan aji Pameling kearah telinga hati Prabu Baladewa. Demikianlah pesat cipta Prabu Kresna telah mampu mengubah jalannya waktu. Terkena aji Pameling, Prabu Baladewa seketika terbangun dari tapa. Bagai bangun dari tidur dengan mimpi yang nggegirisi, dihadapannya telah berdiri Kresna dan Werkudara.
“Dinda kamulah yang aku tunggu, apakah Baratayuda sudah dimulai. Atau bahkan perang sudah selesai?”
“Kurawa sudah tumpas hari ini kanda Prabu. Tetapi ada satu yang masih kita cari, Prabu Duyudana”. Jawab Kresna.
“Jagad dewa batara, ternyata tragis akhir hidup para Kurawa. Sudahlah, sekian saja Werkudara, cukup sampai disini kita menyudahi pertengkaran yang membawa kehancuran. Kamu harus ingat bahwa Pandawa dan Kurawa adalah berasal dari satu turun. Turun dari Eyang Wiyasa. Betapapun pasti Eyang Wiyasa sangat sedih melihat apa yang sudah terjadi”.
“Sudah aku ingatkan kanda Prabu Duryudana sejak semula tapi itulah yang terjadi” Jawab Werkudara.
“Mari Kanda, kita cari dimana dinda Duryudana sekarang berada. Dinda Punta sudah merelakan Negara Astina tetaplah menjadi milik Kurawa”. Ajak Kresna
Perjalanan kemudian dilanjutkan kembali dengan mengerahkan ketajaman insting Kresna. Tak lama kemudian terlihat seekor gajah yang dengan tenangnya merumput.
“Eyang Baginda, tak ada rasa sedih seperti yang terjadi pada saat ini. Kemenangan demi kemenangan telah kami dapatkan hari demi hari disepanjang Perang Baratayuda Jayabinangun ini. Namun kemenangan demi kemenangan telah dibeli dengan jatuhnya tawur para saudara, orang tua, guru, dan semua orang yang sepantasnya hamba beri kemukten. Puncaknya, hari ini, tangan hamba telah mengantarkan Uwa Prabu Salya ke tepet suci. Sekecil ujud debupun, hamba tidak mengira, bahwa gerak tangan hamba ini akan menjadi lantaran perginya Uwa Mandaraka”.
Prabu Matswapati menarik nafas panjang. Apa yang dikatakan oleh Prabu Puntadewa adalah hal yang sangat dipahaminya. Sesal sekecil apapun pasti membekas di dada Puntadewa yang begitu teguh memegang kesucian diri. Maka sejurus kemudian ia berkata, “Cucu Prabu, sebagaimana telah terjadi pada trah Matsya, tumpasnya anak anak lelaki yang aku punyai Seta, Utara dan Wratsangka pada mulanya telah membuat sesal dan sedih. Tetapi semoga cucu Prabu menjadikan contoh dari perasaanku terhadap takdir. Semua kejadian yang telah terjadi hendaknya dipasrahkan saja kepada Yang Maha Mengatur. Berikanlah jiwa ini keringanan beban, serahkan segalanya kembali kepada-Nya, sehingga kita menjadi ringan dalam melangkahi hari hari didepan.
Kalimat yang dikatakan Eyangnya yang sangat dihormati telah sedikit memberi pencerahan di hati Prabu Puntadewa yang segera mengatakan isi hatinya yang masih terpendam “Sabda Eyang Baginda Matswapati sedapat mungkin akan hamba akan lakukan. Tetapi Eyang, masih ada beberapa saudara kita Kurawa termasuk Kanda Prabu Duryudana masih belum kelihatan dalam perang hari ini. Maka perkenankan hamba mohon kepada Kanda Prabu Kresna, mumpung dalam pertemuan ini juga hadir, agar besok hari untuk bersama sama membimbing saudara saudara kami Pandawa, untuk mencari keberadaan kanda Prabu Duryudana. Ajaklah kanda Prabu untuk kembali ke Astina”.
Sejenak Prabu Puntadewa terdiam, seakan ada sesuatu yang penting hendak disampaikan; “Eyang, hamba akan pasrahkan seutuhnya Negara Astina untuk membangun kembali diatas reruntuhan yang terjadi dalam perang. Hamba bersaudara telah mengambil keputusan untuk hanya menempati Negara yang kami bangun dengan keringat dan darah kami sendiri, Negara Indraparahasta atau Amarta!”
Tersenyum Prabu Matwapati, sangat mengerti ia akan keluhuran budi cucu yang satu itu. Keputusan yang sebenarnya telah disampaikannya pada sebelum korban berjatuhan dan menjadi luluh lantak. Walau kemenangan sudah dikatakan telah ada di tangan, tetapi keputusan semula masih saja ia pegang “Cucu Prabu Punta, begitu luhur budimu. Untukmu kaki Kresna, segera setelah sidang sore ini terlaksana, bersiaplah untuk mencari keberadaan Prabu Duryudana. Eyangmu sangat setuju dengan putusan yang diambil oleh cucu Puntadewa, yang hanya mengambil Negara yang dibangun atas landasan hutan Mertani ketika itu.
Maka ketika cerah mentari pagi telah menerangi hari, Prabu Kresna telah berada diluar Medan Kuru yang hari itu menjadi demikian sepi. Hiruk pikuk peperangan yang telah berlangsung sejak delapan belas hari telah menyisakan pemandangan yang begitu mengerikan.
Namun Prabu Kresna teringat akan ucapannya ketika Prabu Baladewa yang disisihkan dengan tipu dayanya, agar tidak ikut ikutan dalam perang, dan harus bertapa di Grojogan Sewu atau air terjun dengan seribu alur. Tetapi ia berjanji bahwa walaupun hanya sekejap sajapun, kakaknya diberi waktu untuk menyaksikan perang itu.
Disitu Prabu Baladewa bertapa memuja ke hadapan Dewa, agar diberikanlah kerukunan antara saudara saudaranya Kurawa dan Pandawa. Ketika itulah Kresna sudah sampai di tempat Prabu Baladewa bersemedi.
“Dosa besarlah namanya, Werkudara, bila seseorang membangunkan orang yang sedang bertapa. Tetapi kali ini ada hal yang tidak dapat ditunda lagi. Mari dinda, bantu aku mengheningkan cipta untuk membangunkan kanda Baladewa dengan aji Pameling”. Kata Kresna kepada Werkudara setelah berada di hadapan Prabu Baladewa yang selalu dijaga putranya Raden Setyaka.
Segera Prabu Kresna bersemadi membisikkan aji Pameling kearah telinga hati Prabu Baladewa. Demikianlah pesat cipta Prabu Kresna telah mampu mengubah jalannya waktu. Terkena aji Pameling, Prabu Baladewa seketika terbangun dari tapa. Bagai bangun dari tidur dengan mimpi yang nggegirisi, dihadapannya telah berdiri Kresna dan Werkudara.
“Dinda kamulah yang aku tunggu, apakah Baratayuda sudah dimulai. Atau bahkan perang sudah selesai?”
“Kurawa sudah tumpas hari ini kanda Prabu. Tetapi ada satu yang masih kita cari, Prabu Duyudana”. Jawab Kresna.
“Jagad dewa batara, ternyata tragis akhir hidup para Kurawa. Sudahlah, sekian saja Werkudara, cukup sampai disini kita menyudahi pertengkaran yang membawa kehancuran. Kamu harus ingat bahwa Pandawa dan Kurawa adalah berasal dari satu turun. Turun dari Eyang Wiyasa. Betapapun pasti Eyang Wiyasa sangat sedih melihat apa yang sudah terjadi”.
“Sudah aku ingatkan kanda Prabu Duryudana sejak semula tapi itulah yang terjadi” Jawab Werkudara.
“Mari Kanda, kita cari dimana dinda Duryudana sekarang berada. Dinda Punta sudah merelakan Negara Astina tetaplah menjadi milik Kurawa”. Ajak Kresna
Perjalanan kemudian dilanjutkan kembali dengan mengerahkan ketajaman insting Kresna. Tak lama kemudian terlihat seekor gajah yang dengan tenangnya merumput.
“Aku juga berpikir begitu. Biarlah aku akan memanggil Prabu Duryudana. Betapa kangennya rasa hati ini walau tidak sampai sebulan aku telah terpisah. Dan akan aku tebus tapaku untuk kedamaian antara saudara saudaraku Pandawa dan Kurawa”. Baladewa menimpali.
Dengan lantang kemudian Baladewa memanggil manggil Prabu Duryudana , “Dinda Prabu, ternyata dinda ada disini. Sudah kangen rasa ini untuk bertemu dengan dinda Prabu Duryudana. Saya kakakmu Prabu Baladewa. Dinda, perkenankan dinda keluar dari air telaga walaupun hanya sebentar. Kita dapat berbicara dari hati kehati”.
Suara itulah yang ditunggu tunggu Prabu Duryudana. Walau sayup suara Prabu Baladewa karena lebarnya telaga, namun ia telah yakin, yang ditunggu sudah tiba. Keluar dari tempat persembunyian ditengah telaga dan segera mendekati arah Prabu Baladewa. Berrangkulan keduanya tanpa menghiraukan sekelilingnya.
“Terimakasih kanda telah bersusah payah mencari kami, kanda. Kandalah yang selama ini hamba tunggu. Bukannya hamba lari dari tanggung jawab, ngeri atau pengecut, tetapi hamba ingin melawan musuh hamba dengan olah gada. Olah gada yang kanda Prabu ajarkan. Selayaknya kanda Prabu menjadi saksi ketrampilan olah gada yang aku tekuni. Sepantasnya guru menjadi saksi kesaktian muridnya”.Duryudana berkilah.
“Oooh dinda, kami datang bukan untuk menantang perang. Tetapi justru kami datang dengan ajakan berdamai. Telah banyak para orang tua tua kita yang menjadi tawur perang! Kami beserta para Pandawa telah bersepakat untuk mengajak paduka dinda untuk kembali ke Astina, dan melupakan kejadian yang telah lalu, yang sejatinya kita bisa jadikan pelajaran kita melangkah kedepan”. Baladewa mencoba memberikan penjelasan.
“Para Pandawa sudah menerima bahwa mereka rela menyerahkan Negara Astina dan hanya meminta negara Amarta yang mereka bangun dengan jerih payah sendiri”.
Namun jawaban Prabu Duryudana tidak menjadikannya persoalan selesai “Tidak, tidak kanda! Kanda telah mengecilkan hamba. Prajurit kami telah gugur berribu ribu jumlahnya. Apa gunanya hamba yang tinggal sendirian takut mati. Tidak! Hamba adalah raja besar. Raja yang sudah bertahun tahun hidup dalam kemuliaan. Tidak selayaknya hamba melepaskan begitu saja tanggung jawab itu”.
Dibiarkannya Prabu Duryudana menumpahkan rasa hatinya oleh Baladewa, sesat kemudian Duryudana menyambung “Kalah atau menang, Pandawa akan kecewa. Seumpama saya yang menang itu sudah menjadi kewajiban kami untuk membangun kembali kemuliaan kami, dan kemuliaan Prabu Duryudana akan menyudul hingga kelangit tujuh. Tetapi bila Pandawa yang menang, mereka akan kecewa. Negara Astina sudah hancur. Mereka hanya akan merawat anak anak yatim dan janda janda korban perang. Mereka hanya akan menemukan reruntuhan demi reruntuhan”.
Menarik nafas panjang Prabu Baladewa yang kemudian menggelengkan kepala lemah, katanya “Keterlaluan dinda Duryudana yang mempunyai watak gunung. Tak bisa diperlakukan rendah. Baiklah sekarang kanda akan menuruti kemauan dinda Prabu”.
“Paduka Kanda Prabu Baladewa hendaknya menjadi saksi, kami minta perang tanding gada dengan salah seorang Pendawa, yang mempunyai sosok seimbang”. Jawab Duryudana.
Demikianlah, setelah selesai mengenakan kembali busana keprajuritan yang terletak dipunggung gajah, maka Duryudana telah berhadapan dengan Werkudara. Satu lawan satu! Kresna mendekati Werkudara sebelum perang tanding dimulai dengan membisikkan sesuatu yang disusul anggukan kepala Werkudara penuh arti.
Ketika Prabu Duryudana bergeser, maka Werkudara-pun bergeser pula. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa Duryudana itu sudah siap untuk meloncat menyerangnya.
Tetapi Werkudara-pun sadar, bahwa Duryudana mulai serangan gadanya dengan menjajagi kemampuannya, sebagaimana juga akan dilakukan oleh Werkudara.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Duryudana meloncat menyerang dengan penggada tepat kearah dada. Namun seperti yang diduga oleh Werkudara, Duryudana belum mempergunakan tataran ilmunya yang tertinggi. Meskipun demikian namun pukulan itu seakan-akan telah meluncur secepat lidah api dan melontarkan angin yang keras mendahului gerak tangan Duryudana yang terjulur itu.
Werkudara bergeser selangkah menyamping. Meskipun ia tahu bahwa lawannya belum menyerang dengan sepenuh kemampuan, namun Werkudara tidak mau merendahkannya. Karena itu, sejak awal ia telah mulai mengetrapkan ilmu kebalnya Bandung Bandawasa. Ilmu yang dapat melindungi ujud wadagnya, meskipun ia masih belum yakin jika serangan lawannya cukup kuat dengan lambaran ilmu yang sangat tinggi, hingga serangan itu akan dapat menyusup, dan memecahkan perisai ilmu kebal itu.
Berapa saat, pertarungan berjalan semakin seru.Tetapi baik Werkudara maupun Duryudana tidak mau tergesa-gesa. Justru karena masing-masing melihat kelebihan lawannya, mereka harus mebuat perhitungan yang sebaik-baiknya dalam pertempuran itu. Bagaimanapun mereka tidak boleh membuat kesalahan yang akan dapat menjerumuskan mereka kedalam kesulitan yang gawat.
Serangan-serangan Duryudana itu semakin cepat menyambar nyambar Werkudara dari segala arah. Langkahnya seakan-akan sama sekali tidak diberati oleh bobot tubuhnya. Seperti seekor burung sikatan Duryudana itu meloncat menyambar dan sekali sekali mematuk dengan gadanya.
Sengitnya perang tanding masih diawasi dengan tegang oleh Prabu Kresna dan Baladewa. Sebentar sebentar mimik muka keduanya menegang, sebentar kemudian kembali cair. Terasa kesiur angin panas dari ayunan gada mulai menampar tubuh keduanya dan memaksanya sedikit menjauh dari arena pertempuran. Sementara pukulan gada keduanya dari waktu ke waktu semakin dahsyat. Keduanya telah sampai pada tataran teringgi kemampuannya. Kekuatan yang bagaikan taufan saling menghantam badan keduanya, tetapi mereka adalah manusia manusia pilihan yang telah tertempa oleh pengalaman berguru dan pengalaman tempur yang panjang.
Duryudana melontarkan gelombang-gelombang pukulan gada yang dahsyat beruntun susul menyusul. Namun Werkudara dengan ajian Blabak Pengantol antol dan dibantu sukma Kumbakarna yang menyatu selagi Werkudara ada di lereng gunung Kutarunggu, sangat sulit ditaklukkan. Sementara tamparan serangan itupun mulai terasa bagaikan panasnya uap air yang sedang mendidih menyengat tubuhnya. Arena perang tanding telah menjadi hangus bagai terkena sengatan halilintar. Bahkan suara gelegar benturan kedua gada pusaka terdengar membahana bagai sejuta guruh dilangit berpetir.
Namun kekuatan Duryudana adalah kekuatan simbol dari angkara murka yang tidak begitu saja dapat diatasi oleh laku kebaikan. Maka perang tanding itu sudah seharian tanpa ada kelihatan siapa yang bakal unggul. Setingkat demi setingkat Duryudana itu meningkatkan ilmunya yang nggegirisi. Kekuatan angin yang melanda Werkudara oleh kesiur gadanya menjadi semakin dahsyat. Bahkan kemudian angin itu mulai berputar, Werkudara mulai merasa dirinya dihisap oleh pusaran angin yang begitu panas. Seolah-olah pusaran air yang mempunyai kekuatan tidak terbatas telah menghisapnya keatas. Sedangkan udara panas semakin lama menjadi semakin panas menerpa kulitnya. Namun aji Blabak Pangantol antol telah menerapkan dirinya bagai terpaku dalam tanah. Dalam satu kesempatan ketika Duryudana melompat menyerang, maka dikenai pahanya sebelah kiri Prabu Duryudana dengan penggada yang bagai bobot gunung Semeru. Dengan keluh terahan, disusul kata kata kotor, ambruk Prabu Duryudana!
Tetapi begitu Duryudana mencoba bangkit, sekali dua kali, tiga kali gada Werkudara masih saja menggempur tubuhnya. Remuk rempu tubuh Duryudana tak berujud lagi.
Prabu Baladewa murka melihat Prabu Duryudana yang sudah tidak berdaya terkena hajaran gada Werkudara. Walau ia mengerti bahwa kekuatan Duryudana tiada tara namun kekuatan gada Werkudara yang bagai bobot gunung Mahameru pasti akan menghancurkan sosok Duryudana.
“Keparat Werkudara ayoh tandingi aku Baladewa. Jangan mentang mentang kamu menang, sehingga kamu berlaku sia sia terhadap pihak yang kalah. Duryudana sudah tidak berdaya kamu perlakukan seperi layaknya binatang buruan! Ayoh tandingi Baladewa!”
Kresna yang dari tadi siaga menjaga agar tidak ada peristiwa yang mengkhawatirkan terjadi, telah menyongsong gerak Prabu Baladewa, “Sabar kanda, sabar. Hamba sudah bilang sebelumnya, kemauan hati tak lah kuasa untuk membelokkan takdir. Baratayuda dalah peristiwa luwarnya kaul atau janji, itu hal yang pertama. Kedua adalah arena tagih menagih antara yang menghutangi dan yang diberi hutang, baik dalam hal rasa ataupun budi pekerti. Dan ketiga adalah, syarat bagi hilangnya angkara murka. Hilangnya angkara itu kanda, tidaklah bisa sirna bila tidak bersamaan dengan yang menyandangnya”.
Kresna yang melihat di mata kakaknya sudah surut kemarahannya segera menyambung, “Mestinya ada banyak peristiwa yang tentunya kanda Prabu sudah mengerti bahwa Prabu Duryudana juga mempunyai hutang budi, hutang pati dan hutang seribu malu yang disandang manusia manusia yang telah ia hutangi. Maka kanda, ikhlaskan kematian Prabu Duryudana. Marilah kita bersama melangkah kedepan dalam satu tindakan bersama sama para saudara kita Pandawa, yang telah terbukti menjadi sarana hilangnya angkara”.
Hari kembali buram di sore itu sewaktu perang tanding berakhir. Kembali langit membiaskan layung senja yang entah kapan sore berlayung itu akan berakhir. Demikianlah, setelah merawat jenazah Duryudana maka ketiganya telah kembali menghadap Baginda Matswapati di Hupalawiya.
Golongan Kurawa, Kartamarma dan Aswatama masih berkeliaran. Namun Perang Dunia ke empat ini praktis telah berakhir . . . .
Surak surak manengker gumuruh
Swaraning wadya surak gambira
Unggul Baratayuda para Pandawa
Labuh Negara Astina balane
Kurawa gugur tengahing palagan
Pandawa . . . Pandawa unggul ing prang Baratayuda.