Aswatama bermaksud membesarkan hati Anggraeni dan Ekalaya yang sedang berada dalam keterpurukan. Ia menggarisbawahi pendapat Anggraeni, bahwa hidup yang dianugerahkan jauh lebih berharga dibandingkan dengan pusaka andalan Paranggelung yang dimiliki Ekalaya sejak bayi. Walaupun kini pusaka yang diandalkan itu telah lepas dari dirinya dan Ekalaya menjadi orang biasa yang tidak berilmu dahsyat, Anggraeni mengalami suka cita ketika didapati suaminya mulai sadar dan lukanya berangsur-angsur pulih.
Ekalaya bangkit untuk duduk. Ia memandangi tangannya yang luka. Dan mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Ia melihat Anggraeni yang berada sangat dekat dengan dirinya. Juga Aswatama yang berada tidak jauh dari dirinya. Ya, di bilik inilah ia telah mempersembahkan pusaka andalannya kepada Sang Guru Durna.
“Terima kasih Anggraeni, terima kasih Aswatama. Kalian telah merawat aku. Mungkin saat ini adalah saat akhir kita saling bertemu. Karena apa yang berharga dalam hidupku telah hilang, aku persembahkan kepada Guru Durna.”
“Jangan berkata begitu Kangmas, bukankah yang paling berharga dalam hidup ini adalah hidup itu sendiri? Dan Kangmas Ekalaya masih memilikinya?”
“Engkau benar isteriku. Namun hidup tanpa ilmu dan kesaktian tidak lebih berharga dibandingkan dengan daun jati kering.”
“Tidak demikian Kangmas Ekalaya, engkau sangat berharga bagiku, karena cinta dan.kebijaksanaan masih ada padamu.”
“Anggraeni, engkau tahu ketika kita pergi berguru, rakyat Paranggelung berjubel mengantar kita hingga tapal batas negaragung Paranggelung. Harapannya adalah, kelak ketika Sang Raja pulang kembali tentu kesaktiannya akan semakin dahsyat. Tetapi apa yang terjadi? Yang terjadi adalah sebaliknya.. Bukan raja berilmu dahsyat yang didapat, tetapi raja yang lemah tak berdaya tidak mempunyai kesaktian apa-apa. Tentu saja rakyat akan kecewa.”
“Menurutku tidak demikian Kangmas, karena kejadian ini bukan kehendak kita dan bukan salah kita. Jika kita ceritakan dengan jujur, rakyat tentu akan menerimanya, dan bahkan bangga mempunyai raja bijaksana dan penuh cinta. Karena sesungguhnya dua hal itulah yang paling dibutuhkan rakyat.”
Mata Ekalaya berkaca-kaca. Dari kata-kata yang telah diungkapkan isterinya, ia mampu melihat cahaya harapan di tengah tragedi hidup yang gelap pekat.
Walaupun berat, Ekalaya berusaha membangunkan sikap batin untuk bangkit menyongsong masa depan dengan penuh semangat.
“Yah! Memang benarlah, aku masih mempunyai kebijaksanaan serta masih mencintai rakyatku. Anggreni, aku mau pulang ke Paranggelung. Ingin segera mengabarkan kepada rakyatku bahwasanya aku telah terperdaya oleh sosok guru yang aku hormati dan aku kagumi.”
“Baik Kangmas, aku siapkan segala sesuatunya. Namun sebaiknya, di sisa malam ini Kangmas beristirahat sejenak, nanti sebelum wajar menyingsing kita akan mengucapkan selamat tinggal kepada bumi Sokalima.”
Ekalaya mengangguk perlahan. Matanya mulai dipejamkan. Sebelum benar-benar terlelap, sayup-sayup terdengar kidung malam yang lembut menusuk kalbu.
Nalikanira ing dalu
wong agung mangsah semedi
sirep kang bala wanara
sadaya wus sami guling
nadyan ari sudarsana
wus dangu nggenira guling.
Kukusing dupa kumelun
ngeningken tyas sang apekik
kawengku sagung jajahan
nanging sanget angikipi
sang Resi Kanekaputra
anjog saking wiyati
Kidung Kinanthi yang dikumandangkan dari samping Pendopo Agung Sokalima oleh Bekele Gandok tersebut menceritakan kebiasaan Prabu Rama Wijaya, Raja Pancawatidenda ketika malam mulai tiba. Pada saat balatentara kera telah lama terlelap dalam tidur, termasuk juga Lesmana Widagda adiknya, sang raja melakuan meditasi, untuk kemudian membakar dupa dan berdoa, memohon kepada Sang Hyang Wenang, agar seluruh balatentara dan rakyat yang termasuk dalam wilayah kekuasaannya mendapatkan berkah ketenteraman, keselamatan, serta terhindar dari segala marabahaya. Dari syair kidung yang ditulis, doa Prabu Ramawijaya dikabulkan, yang ditandai dengan turunnya Resi Kanekaputra untuk memberikan anugerah. Oleh karena sikap Prabu Ramawijaya, rakyat Pancawatidenda merasa tenteram dan bahagia mempunyai sosok raja yang memperhatikan dan mencintai rakyatnya. Bahkan dalam suasana perang pun, yaitu ketika balatentara kera yang dipimpin Prabu Ramawijaya sedang mendirikan perkemahan di Swelagiri untuk menyerang Alengkadiraja, rasa tenteram dan bahagia tidak lepas dari hati mereka.
Benar juga kata Anggraeni. Sesungguhnya hal utama yang dibutuhkan rakyat adalah dicintai dan diperlakukan dengan adil. Prabu Rama telah memilih yang terbaik untuk diberikan kepada balatentara dan kawulanya di seluruh wilayah jajahannya.
Ekalaya merasa bangga mempunyai isteri Anggraeni, yang mampu membesarkan hatinya dalam ketidakberdayaan. Memberikan cahaya ketika gelap gulita melanda jiwanya. Oleh karenannya Sang Ekalaya masih mampu menggenggam ketenteraman dan menumbuhkan semangatnya dalam keadaan yang paling terpuruk. Buktinya, ia segera terlelap tidur, sesaat setelah kidung malam dikidungkan.
Pagi-pagi benar, seorang cantrik yang bertugas membersihkan bilik Ekalaya mendapati ruangan bilik telah kosong. Di atas meja bambu ditemukan selembar daun lontar yang bertuliskan:
Bapa Resi Durna aku mohon pamit, walaupun Bapa Resi tidak akan pernqh menyesalkan kepergian kami, Bapa Resi akan terkejut karena putranda Aswatama ikut bersama kami. Maafkan kami, seperti kami pun juga memaafkan Bapa Resi.
Selamat tinggal. Ekalaya
“Adhuh Ngger Aswatama anakku, jangan tinggalkan bapamu ya Ngger!”
Sokalima menjadi geger. Durna kebingungan. Ia berjalan ke sana-kemari, memasuki bilik yang satu ganti bilik yang lain, untuk mendapatkan Aswatama. Guru Besar Sokalima tersebut berperilaku seperti anak kecil, ia tidak percaya bahwa Aswatama benar-benar telah meninggalkan Sokalima.
Aswatama, Aswatamaa!
Cantriiik!
Cekeeel!
Geluntunggg!
Ulu-guntunggg!
Indung-indunggg!
Dimana Aswatamaaa!
“Oh Ngger anakku, mengapa engkau sungguh tega meninggalkan Bapamu sebatang kara ini?”
Resi Durna teramat takut kehilangan putranya. Karena sejak isteri tercinta Batari Wilutama meninggalkan dirinya, kasih dan perhatiannya tercurah kepada Aswatama, satu-satunya anak hasil hubungannya dengan sang Batari Wilutama.
Adakah yang mengecewakanmu Ngger anakku si Aswatama? Hingga tanpa pamit tanpa berita engkau tinggalkan begitu saja bapakmu ini dan bumi Sokalima. Tidakkah engkau menyayangiku Ngger? Apa salahku Tole?
Dalam kebingungan Durna menemui Harjuna, untuk memasrahkan anak semata wayang si Aswatama yang tanpa pamit telah meninggalkan Sokalima bersamaan dengan Ekalaya dan Anggraeni sahabatnya.
“Harjuna, Harjuna, tolonglah aku, susullah Aswatama, dan ajak kembali, jangan perbolehkan ia pergi meninggalkan aku sendirian.”
Melihat kecemasan dan kebinggungan sang guru, Harjuna merasa iba. Maka dengan serta-merta Harjuna menyanggupi untuk mencari Aswatama.dan segera berangkat meninggalkan Sokalima. Durna sedikit lega. Ia memandangi Harjuna hingga hilang dari pandangan, kemudian masuk ke ruang dalam untuk menenangkan hati. Jika sudah demikian tak ada cantrik yang berani mengganggu.
Matahari baru sepenggalah. Walaupun Harjuna sudah meningkatkan kemampuannya untuk memacu kudanya dengan cepat, ketiga orang yang dimaksud belumlah tersusul. Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama seakan hilang ditelan bumi.
Syahdan, perjalanan Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama telah memasuki pintu gerbang tapal batas Negara Paranggelung. Kabar segera tersiar bahwa Raja yang telah pergi lebih dari tiga tahun kini telah datang. Kawula Paranggelung mulai berdatangan di sepanjang jalan yang dilalui Sang Raja. Di hadapan kawula yang mengelu-elukannya Ekalaya yang berada di punggung kuda, dibarengi oleh Anggraeni dan Aswatama, mencoba menutupi deritanya dengan senyum dan keramahan.
“Raja datang!”
“Raja jaya!”
“Hidup Sang Raja”
“Hidup!!!”
Mata Rakyat adalah kejujuran. Hati rakyat adalah ketulusan. Oleh karenanya ketika sang Raja membalas sambutan rakyat dengan senyuman dan lambaian tangan, mereka telah menangkap, ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Terlebih lagi ketika dilihatnya tangan kanan sang raja sudah tidak utuh lagi, tanpa ibu jari. Tentunya ada derita dalam di balik lukanya. Bagaimana tidak! Bagi kawula Paranggelung, yang sebagian besar rakyatnya pandai berolah senjata panah, tentunya akan sangat kehilangan jika tangan kanannya tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya. Oh alangkah menderitanya rajaku. Sang Prabu apa yang terjadi? Siapakah yang telah menganiaya paduka?
Teriakan gegap gempita dari rakyat Paranggelung itu pun akhirnya berangsur-angsur surut, hambar dan kemudian berubah menjadi isak tangis kesedihan.
Jangan cemas rakyatku yang setia, akan kujelaskan dengan sejujurnya apa yang telah menimpa diriku. Yang pasti tidak ada derita. Jika pun ada derita pasti ringan jadinya karena kesetiaan rakyatku yang rela ikut memikulnya.
Memang sejak Ekalaya menjadi raja menggantikan ayahnya, hubungan antara raja dan rakyatnya itu terjalin dengan harmonis, penuh ketulusan. Rakyat sungguh mencintai rajanya, karena sang raja lebih dahulu mencintai rakyatnya. Antara raja dan kawulanya saling berbagi, saling melengkapi.
Lepas dari perhatian orang banyak, ternyata Harjuna sudah berada di antara Rakyat Paranggelung. Perkiraannya tepat bahwa Aswatama akan mengikuti pasangan Ekalaya ke Paranggelung. Maka ketika ia mencari tahu letak Negara Paranggelung, bergegaslah sang Harjuna dengan ilmu cepatnya memacu kudanya menuju Paranggelung. Bahkan Harjuna lebih dahulu memasuki wilayah Paranggelung, dibandingkan dengan Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama. Oleh karenanya Harjuna boleh menyaksikan, mengalami dan merasakan, betapa besar cinta rakyat kepada rajanya, dan cinta raja kepada rakyatnya. Ada perasaan menyesal mengapa dirinya bermusuhan dengan Ekalaya. Sebab sama pula artinya bahwa dirinya telah memusuhi semua kawula Paranggelung. Lalu bagaimana caranya menyelesaikan persoalan pribadinya dengan Ekalaya tanpa harus melibatkan kawula Paranggelung, dan sekaligus mengajak Aswatama pulang dengan cara damai, atau jika perlu dengan cara kekerasan.
Saat yang ditunggu oleh pembesar negeri dan rakyat Paranggelung telah tiba. Sang Prabu Ekalaya duduk di singgasana –didampingi Dewi Anggraeni dan Aswatama, yang diperkenalkan sebagai sahabatnya– lalu menceritakan kisah perjalanannya dalam upaya mencari guru ilmu berolah senjata panah yang mumpuni.
Bapa Dorna adalah guru yang pilih tanding. Cacat pada fisiknya tidak mengurangi kesaktian yang dikuasainya. Namun entah mengapa ia melakukan tindakan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya. Atas tragedi getir yang menimpa Ekalaya, seluruh rakyat Paranggelung merasakan kegetirannya
Malam panglong, malam gelap tanpa bulan. Ekalaya dan Anggraeni belum tidur Menurut perasaannya, malam ini tidak seperti malam-malam sebelumnya. Entah mengapa malam ini begitu sepi, gelap mencekam. Kegetiran yang telah dibeberkan kepada rakyatnya justru menjadi bumerang bagi diri sendiri. Ia semakin menderita melihat rakyatnya menderita. Ia semakin bersedih merasakan rakyatnya bersedih. Dalam ketermanguan itu Ekalaya mengatakan sesuatu kepada Anggraeni.
“Diajeng Anggraeni, rasa-rasanya telah tiba saatnya apa yang paling berharga dari kita pun akhirnya akan diambil pula. Sehingga kita tidak punya apa-apa lagi. Yah kita tidak punya apa-apa lagi, termasuk hidup itu sendiri.”
“Pasti Kakangmas, hidup ini akan diambil kembali oleh yang mempunyai hidup dan akan diabadikan. Tetapi kapan waktunya tidak ada seorang pun tahu. Oleh karena itu jangan cemas Kakangmas, aku senantiasa berada di sampingmu.”
Selesai berkata demikian, Anggraeni terkejut melihat raut muka suaminya berubah mendadak.
“Ada apa Kakangmas?!”
Ekalaya merasakan daya aji Pameling yang masuk di telinganya dan menyusup ke hatinya. “Ekalaya, aku tunggu engkau dan Aswatama di luar batas negara Paranggelung, sekarang juga. Dari Harjuna.”
herjaka HS
Ekalaya bangkit untuk duduk. Ia memandangi tangannya yang luka. Dan mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Ia melihat Anggraeni yang berada sangat dekat dengan dirinya. Juga Aswatama yang berada tidak jauh dari dirinya. Ya, di bilik inilah ia telah mempersembahkan pusaka andalannya kepada Sang Guru Durna.
“Terima kasih Anggraeni, terima kasih Aswatama. Kalian telah merawat aku. Mungkin saat ini adalah saat akhir kita saling bertemu. Karena apa yang berharga dalam hidupku telah hilang, aku persembahkan kepada Guru Durna.”
“Jangan berkata begitu Kangmas, bukankah yang paling berharga dalam hidup ini adalah hidup itu sendiri? Dan Kangmas Ekalaya masih memilikinya?”
“Engkau benar isteriku. Namun hidup tanpa ilmu dan kesaktian tidak lebih berharga dibandingkan dengan daun jati kering.”
“Tidak demikian Kangmas Ekalaya, engkau sangat berharga bagiku, karena cinta dan.kebijaksanaan masih ada padamu.”
“Anggraeni, engkau tahu ketika kita pergi berguru, rakyat Paranggelung berjubel mengantar kita hingga tapal batas negaragung Paranggelung. Harapannya adalah, kelak ketika Sang Raja pulang kembali tentu kesaktiannya akan semakin dahsyat. Tetapi apa yang terjadi? Yang terjadi adalah sebaliknya.. Bukan raja berilmu dahsyat yang didapat, tetapi raja yang lemah tak berdaya tidak mempunyai kesaktian apa-apa. Tentu saja rakyat akan kecewa.”
“Menurutku tidak demikian Kangmas, karena kejadian ini bukan kehendak kita dan bukan salah kita. Jika kita ceritakan dengan jujur, rakyat tentu akan menerimanya, dan bahkan bangga mempunyai raja bijaksana dan penuh cinta. Karena sesungguhnya dua hal itulah yang paling dibutuhkan rakyat.”
Mata Ekalaya berkaca-kaca. Dari kata-kata yang telah diungkapkan isterinya, ia mampu melihat cahaya harapan di tengah tragedi hidup yang gelap pekat.
Walaupun berat, Ekalaya berusaha membangunkan sikap batin untuk bangkit menyongsong masa depan dengan penuh semangat.
“Yah! Memang benarlah, aku masih mempunyai kebijaksanaan serta masih mencintai rakyatku. Anggreni, aku mau pulang ke Paranggelung. Ingin segera mengabarkan kepada rakyatku bahwasanya aku telah terperdaya oleh sosok guru yang aku hormati dan aku kagumi.”
“Baik Kangmas, aku siapkan segala sesuatunya. Namun sebaiknya, di sisa malam ini Kangmas beristirahat sejenak, nanti sebelum wajar menyingsing kita akan mengucapkan selamat tinggal kepada bumi Sokalima.”
Ekalaya mengangguk perlahan. Matanya mulai dipejamkan. Sebelum benar-benar terlelap, sayup-sayup terdengar kidung malam yang lembut menusuk kalbu.
Nalikanira ing dalu
wong agung mangsah semedi
sirep kang bala wanara
sadaya wus sami guling
nadyan ari sudarsana
wus dangu nggenira guling.
Kukusing dupa kumelun
ngeningken tyas sang apekik
kawengku sagung jajahan
nanging sanget angikipi
sang Resi Kanekaputra
anjog saking wiyati
Kidung Kinanthi yang dikumandangkan dari samping Pendopo Agung Sokalima oleh Bekele Gandok tersebut menceritakan kebiasaan Prabu Rama Wijaya, Raja Pancawatidenda ketika malam mulai tiba. Pada saat balatentara kera telah lama terlelap dalam tidur, termasuk juga Lesmana Widagda adiknya, sang raja melakuan meditasi, untuk kemudian membakar dupa dan berdoa, memohon kepada Sang Hyang Wenang, agar seluruh balatentara dan rakyat yang termasuk dalam wilayah kekuasaannya mendapatkan berkah ketenteraman, keselamatan, serta terhindar dari segala marabahaya. Dari syair kidung yang ditulis, doa Prabu Ramawijaya dikabulkan, yang ditandai dengan turunnya Resi Kanekaputra untuk memberikan anugerah. Oleh karena sikap Prabu Ramawijaya, rakyat Pancawatidenda merasa tenteram dan bahagia mempunyai sosok raja yang memperhatikan dan mencintai rakyatnya. Bahkan dalam suasana perang pun, yaitu ketika balatentara kera yang dipimpin Prabu Ramawijaya sedang mendirikan perkemahan di Swelagiri untuk menyerang Alengkadiraja, rasa tenteram dan bahagia tidak lepas dari hati mereka.
Benar juga kata Anggraeni. Sesungguhnya hal utama yang dibutuhkan rakyat adalah dicintai dan diperlakukan dengan adil. Prabu Rama telah memilih yang terbaik untuk diberikan kepada balatentara dan kawulanya di seluruh wilayah jajahannya.
Ekalaya merasa bangga mempunyai isteri Anggraeni, yang mampu membesarkan hatinya dalam ketidakberdayaan. Memberikan cahaya ketika gelap gulita melanda jiwanya. Oleh karenannya Sang Ekalaya masih mampu menggenggam ketenteraman dan menumbuhkan semangatnya dalam keadaan yang paling terpuruk. Buktinya, ia segera terlelap tidur, sesaat setelah kidung malam dikidungkan.
Pagi-pagi benar, seorang cantrik yang bertugas membersihkan bilik Ekalaya mendapati ruangan bilik telah kosong. Di atas meja bambu ditemukan selembar daun lontar yang bertuliskan:
Bapa Resi Durna aku mohon pamit, walaupun Bapa Resi tidak akan pernqh menyesalkan kepergian kami, Bapa Resi akan terkejut karena putranda Aswatama ikut bersama kami. Maafkan kami, seperti kami pun juga memaafkan Bapa Resi.
Selamat tinggal. Ekalaya
“Adhuh Ngger Aswatama anakku, jangan tinggalkan bapamu ya Ngger!”
Sokalima menjadi geger. Durna kebingungan. Ia berjalan ke sana-kemari, memasuki bilik yang satu ganti bilik yang lain, untuk mendapatkan Aswatama. Guru Besar Sokalima tersebut berperilaku seperti anak kecil, ia tidak percaya bahwa Aswatama benar-benar telah meninggalkan Sokalima.
Aswatama, Aswatamaa!
Cantriiik!
Cekeeel!
Geluntunggg!
Ulu-guntunggg!
Indung-indunggg!
Dimana Aswatamaaa!
“Oh Ngger anakku, mengapa engkau sungguh tega meninggalkan Bapamu sebatang kara ini?”
Resi Durna teramat takut kehilangan putranya. Karena sejak isteri tercinta Batari Wilutama meninggalkan dirinya, kasih dan perhatiannya tercurah kepada Aswatama, satu-satunya anak hasil hubungannya dengan sang Batari Wilutama.
Adakah yang mengecewakanmu Ngger anakku si Aswatama? Hingga tanpa pamit tanpa berita engkau tinggalkan begitu saja bapakmu ini dan bumi Sokalima. Tidakkah engkau menyayangiku Ngger? Apa salahku Tole?
Dalam kebingungan Durna menemui Harjuna, untuk memasrahkan anak semata wayang si Aswatama yang tanpa pamit telah meninggalkan Sokalima bersamaan dengan Ekalaya dan Anggraeni sahabatnya.
“Harjuna, Harjuna, tolonglah aku, susullah Aswatama, dan ajak kembali, jangan perbolehkan ia pergi meninggalkan aku sendirian.”
Melihat kecemasan dan kebinggungan sang guru, Harjuna merasa iba. Maka dengan serta-merta Harjuna menyanggupi untuk mencari Aswatama.dan segera berangkat meninggalkan Sokalima. Durna sedikit lega. Ia memandangi Harjuna hingga hilang dari pandangan, kemudian masuk ke ruang dalam untuk menenangkan hati. Jika sudah demikian tak ada cantrik yang berani mengganggu.
Matahari baru sepenggalah. Walaupun Harjuna sudah meningkatkan kemampuannya untuk memacu kudanya dengan cepat, ketiga orang yang dimaksud belumlah tersusul. Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama seakan hilang ditelan bumi.
Syahdan, perjalanan Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama telah memasuki pintu gerbang tapal batas Negara Paranggelung. Kabar segera tersiar bahwa Raja yang telah pergi lebih dari tiga tahun kini telah datang. Kawula Paranggelung mulai berdatangan di sepanjang jalan yang dilalui Sang Raja. Di hadapan kawula yang mengelu-elukannya Ekalaya yang berada di punggung kuda, dibarengi oleh Anggraeni dan Aswatama, mencoba menutupi deritanya dengan senyum dan keramahan.
“Raja datang!”
“Raja jaya!”
“Hidup Sang Raja”
“Hidup!!!”
Mata Rakyat adalah kejujuran. Hati rakyat adalah ketulusan. Oleh karenanya ketika sang Raja membalas sambutan rakyat dengan senyuman dan lambaian tangan, mereka telah menangkap, ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Terlebih lagi ketika dilihatnya tangan kanan sang raja sudah tidak utuh lagi, tanpa ibu jari. Tentunya ada derita dalam di balik lukanya. Bagaimana tidak! Bagi kawula Paranggelung, yang sebagian besar rakyatnya pandai berolah senjata panah, tentunya akan sangat kehilangan jika tangan kanannya tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya. Oh alangkah menderitanya rajaku. Sang Prabu apa yang terjadi? Siapakah yang telah menganiaya paduka?
Teriakan gegap gempita dari rakyat Paranggelung itu pun akhirnya berangsur-angsur surut, hambar dan kemudian berubah menjadi isak tangis kesedihan.
Jangan cemas rakyatku yang setia, akan kujelaskan dengan sejujurnya apa yang telah menimpa diriku. Yang pasti tidak ada derita. Jika pun ada derita pasti ringan jadinya karena kesetiaan rakyatku yang rela ikut memikulnya.
Memang sejak Ekalaya menjadi raja menggantikan ayahnya, hubungan antara raja dan rakyatnya itu terjalin dengan harmonis, penuh ketulusan. Rakyat sungguh mencintai rajanya, karena sang raja lebih dahulu mencintai rakyatnya. Antara raja dan kawulanya saling berbagi, saling melengkapi.
Lepas dari perhatian orang banyak, ternyata Harjuna sudah berada di antara Rakyat Paranggelung. Perkiraannya tepat bahwa Aswatama akan mengikuti pasangan Ekalaya ke Paranggelung. Maka ketika ia mencari tahu letak Negara Paranggelung, bergegaslah sang Harjuna dengan ilmu cepatnya memacu kudanya menuju Paranggelung. Bahkan Harjuna lebih dahulu memasuki wilayah Paranggelung, dibandingkan dengan Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama. Oleh karenanya Harjuna boleh menyaksikan, mengalami dan merasakan, betapa besar cinta rakyat kepada rajanya, dan cinta raja kepada rakyatnya. Ada perasaan menyesal mengapa dirinya bermusuhan dengan Ekalaya. Sebab sama pula artinya bahwa dirinya telah memusuhi semua kawula Paranggelung. Lalu bagaimana caranya menyelesaikan persoalan pribadinya dengan Ekalaya tanpa harus melibatkan kawula Paranggelung, dan sekaligus mengajak Aswatama pulang dengan cara damai, atau jika perlu dengan cara kekerasan.
Saat yang ditunggu oleh pembesar negeri dan rakyat Paranggelung telah tiba. Sang Prabu Ekalaya duduk di singgasana –didampingi Dewi Anggraeni dan Aswatama, yang diperkenalkan sebagai sahabatnya– lalu menceritakan kisah perjalanannya dalam upaya mencari guru ilmu berolah senjata panah yang mumpuni.
Bapa Dorna adalah guru yang pilih tanding. Cacat pada fisiknya tidak mengurangi kesaktian yang dikuasainya. Namun entah mengapa ia melakukan tindakan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya. Atas tragedi getir yang menimpa Ekalaya, seluruh rakyat Paranggelung merasakan kegetirannya
Malam panglong, malam gelap tanpa bulan. Ekalaya dan Anggraeni belum tidur Menurut perasaannya, malam ini tidak seperti malam-malam sebelumnya. Entah mengapa malam ini begitu sepi, gelap mencekam. Kegetiran yang telah dibeberkan kepada rakyatnya justru menjadi bumerang bagi diri sendiri. Ia semakin menderita melihat rakyatnya menderita. Ia semakin bersedih merasakan rakyatnya bersedih. Dalam ketermanguan itu Ekalaya mengatakan sesuatu kepada Anggraeni.
“Diajeng Anggraeni, rasa-rasanya telah tiba saatnya apa yang paling berharga dari kita pun akhirnya akan diambil pula. Sehingga kita tidak punya apa-apa lagi. Yah kita tidak punya apa-apa lagi, termasuk hidup itu sendiri.”
“Pasti Kakangmas, hidup ini akan diambil kembali oleh yang mempunyai hidup dan akan diabadikan. Tetapi kapan waktunya tidak ada seorang pun tahu. Oleh karena itu jangan cemas Kakangmas, aku senantiasa berada di sampingmu.”
Selesai berkata demikian, Anggraeni terkejut melihat raut muka suaminya berubah mendadak.
“Ada apa Kakangmas?!”
Ekalaya merasakan daya aji Pameling yang masuk di telinganya dan menyusup ke hatinya. “Ekalaya, aku tunggu engkau dan Aswatama di luar batas negara Paranggelung, sekarang juga. Dari Harjuna.”
herjaka HS