Seorang yang bertubuh tinggi besar, dengan tatapan mata tajam dan jarang berkedip. Seorang yang dilahirkan dari keturunan para dewa, yang telah digariskan bahwa dia terlahir sebagai sosok yang sangat dingin, tanpa hati dan perasaan. Dan karena sifat asli itulah, maka Sang Batara Guru menganugerahinya dengan seorang istri bidadari yang cantik cantik jelita, keturunan para dewa pula. Dewi Mumpuni, itulah nama sang bidadari yang kini menjadi istri tercintanya.
Namun hati tak dapat dipaksakan, dan anggukan di kepala hanya sebuah ungkapan tanda bakti dan hormat kepada orang tua, sehingga Dewi Mumupuni bersedia menjadi istri sang lelaki gagah perkasa itu. Dalamnya laut dapat diduga, namun dalamnya hati, siapa yang kira. Dewi Mumpuni sama sekali tak menyintai laki laki yang kini menjadi suaminya. Hatinya kosong,dan gersang bagai sebuah taman tanpa bunga, tanpa air kehidupan.
Suatu saat, berkunjunglah Bambang Nagatamala, putra dari Sanghyang Antaboga, dewa penguasa alam dalam bumi. Dan secara tak sengaja, Nagatamala bersua dengan Dewi Mumpuni. Masing masing tertesona akan keindahannya, dan jatuhlah kedua hati makhluk tersebut dalam sebuah bejana cinta. Hmmmmmm…….
Perasaan mereka semakin kuat, hingga suatu saat mereka mengatur rencana untuk pergi meninggalkan Kahyangan Hargodumilah untuk hidup bersama, di luar sepengetahuan lelaki perkasa itu. Dan rencana yang telah matang segera dilaksanakan. Namun rencana itu tak semulus yang dipikirkan. Seorang abdi mengetahuinya dan segera berlari untuk menyampaikan peristiwa memalukan tersebut, kepada yang berhak, yaitu seorang dewa, raja, dan sekaligus sang suami dari Dewi Mumpuni.
Raut mukanya, sang raja itu, mendadak berubah menjadi merah padam, matanya menatap tajam seseorang yang duduk bersimpuh dihadapannya dengan muka tertiunduk mohon ampun, belas kasihan. Seorang abdi istana telah melaporkan kejadian minggatnya istri tercinta, dengan sorang laki laki bernama Nagatamala. Bagaimaan ini bisa terjadi? Mendadak sontak tubuhnya yang tinggi besar itu terangkat ke angkasa dan melesat terbang, meninggalkan Kahyangan Hargodumilah, dan memburu seorang yang dianggapnya seorang durjana. Menuju istana Saptapratala, tempat kediaman Nagatamala.
Disana, dijumpainya sang istri sedang berdua dengan Nagatamala, maka perkelahian antara dua dewa pun tak terelakkan. Pertempuran yang dahsyat di atas langit itu, hingga membawa perbawa hingga ke bumi. Samudera menggelegak, angin topan mengamuk, hingga pohon pohon pohon tumbang, dan air hujan tiba dengan begitu derasnya.
Melihat peristiwa itu, Sang Batara Narada turun tangan dan melerai pertikaian. Dilihatnya Dewi Mumpuni tak bergeming, masih duduk di dekat singgasana Nagatamala. Maka, dapat dipastikan bahwa disitulah hatinya tertambat, tidak dengan suaminya. Batara Narada pun kemudian menjelaskan bahwa sudah merupakan takdir, bahwa Dewi Mumpuni merupakan pasangan dari Nagatamala. Maka, laki laki itu, suami dari Dewi Mumpuni, yang bergelar Sanghyang Yamadipati, harus merelakannya.
Dengan muka tertunduk, dan hancurnya segenap bahagian dari hatinya, Sanghyang Yamadipati pun mundur, terbang meninggalkan Kahyangan Saptapratala. Sedangkan sang istri, Dewi Mumpuni, tetap singgah di Saptapratala dan menjadi istri Nagatamala.
Betapa hancur perasaan Sanghyang Yamadipati. Istri yang sangat dicintainya, ternyata selama ini sama sekali tak menaruh hati padanya. Pergilah dia melalang buana, hingga beberapa warsa, Istana Hargodumilah kosong ditinggalkannya.
Sanghyang Yamadipati tetap melakukan kewajiban yang diembannya, sebagai dewa pencabut nyawa. Dalam perjalanan pengembaraannya, hatinya yang kosong dan hampa, menuntunnya pada sebuah perintah untuk mencabut nyawa seorang bernama Setyawan, seorang putra dari Brahmanaraja negeri Syalwa. Dia terbang mencari seorang yang bernama Setyawan, dan dengan kesaktiannya, tak sulit untuk segera menemukannya. Seorang jujur dan lurus, namun karena kehendak dewata, usianya harus sampai disini.
Masih kurang empat hari, saat Yamadipati harus mencabut nyawanya. Dan selama itu pula, Yamadipati selalu memperhatikan gerak gerik Setyawan. Satu hal yang sangat menarik perhatian dan menggugah hatinya, dimana disisi Setyawan, selalu terdapat seorang yang cantik jelita, dan berbudi luhur, serta sangat saying dan setia kepada Setyawan. Putri itu ternyata istrinya, yang bernama Sawitri.
Selama 3 hari menjelang kematian Setyawan, Sawitri melakukan puasa dengan berdiri tegak selama 3 hari 3 malam. Hari keempat, dimana hari itulah saat Setyawan harus mati, Sawitri mengikutinya kemanapun Setyawan pergi.
Pada saat mereka berdua pergi ke hutan, Sawitri mengikutinya dari belakang. Dan pada saat Sawitri mengumpulkan buah buahan sedangkan Setyawan membelah kayu kayu kering, mendadak dari wajah Setyawan mengalir deras peluhnya, dan tubuhnyapun terasa dingin. Setyawan berjalan pelan menghampiri Sawitri, untuk minta dipeluknya, hingga hangat tubuhnya.
Saat itu, teringatlah Sawitri akan pesan Batara Narada sewaktu dia menjatuhkan pilihannya untuk berusamikan Setyawan. Saat inilah rupanya kematian itu dating. Dan turunlah Sanghyang Yamadipati yang sejak dari 4 hari sebelumnya mengikuti dan mengamati. Dengan muka yang merah,mata menatap tajam,dan sebuah jerat melingkar di tangan kanannya, tahulah Sawitri bahwa yang dihadapinya adalah Sanghyang Yamadipati, dewa pencabut nyawa.
Saat dibawanya tubuh Setyawan oleh Sanghyang Yamadipati, Sawitri pun mengikutinya. Beberapa kali Yamadipati menyuruhnya untuk pulang, namun Sawitri tak bergeming sedikitpun. Yamadipatipun kehabisan akal, dan bertanyalah ;
“apa yang kau inginkan sawitri? Katakana, asal jangan minta suamimu hidup kembali”
“kemanapun suami hamba pergi, disitulah hamba berada. hamba minta kekuasaan dan kesehatan ayah mertua hamba dikembalikan seperti semula.”
“baik, aku kabulkan. Sekarang pulanglah, sebelum payah”
“hamba tak akan payah selama hamba berdampingan dengan suami yang jujur dan berbudi luhur”
“apa lagi yang kamu ingin Sawitri?”
“hamba mohon diberi 100 orang putera dan hidup di suatu kerajaan yang sejahtera, bahagia dan sempurna”
“baik, akan ku kabulkan. Sekarang pulanglah…”
“bagaiamana hamba bisa berputera 100 orang bila hamba tak bersuami? Tak ada gunanya hidup panjang dan bahagia bila tak ada suami di sisi hamba. Maka, hidupkan suami hamba….”
Mendengar perkataan itu, Yamadipati tertegun sejenak. Sekilas pikiranya melayang ke belakang, kepada sebuah peristiwa beberapa warsa lalu, saat dia ditinggalkan oleh istri tercintanya, Dewi Mumpuni.
“Andai kesetiaan Dewi Mumpuni seperti ini……….” Hatinya berbisik.
Tak terasa pipinya basah, air bening keluar dari kedua kelopak matanya.nafasnya tersendat, tenggorokannya kering.
“Sawitri, kesetiaanmu tiada tara…..”bisiknya dalam hati.
“Baik Sawitri, ku lepaskan nyawa suamimu, dan hiduplah kembali. Berbahagialah dengan suamimu, Setyawan, dan akan kuberi usia 100 tahun…”
Dan Yamadipatipun kemudian menghilang, terbang ke angkasa, dengan meninggalkan aroma wangi di sekeliling tubuh Setyawan.
Dan mereka berdua pun akhirnya hidup dalam bahagia, dengan 100 orang putera yang gagah laghi tampan.
Sanghyang Yamadipati pun tersenyum dalam tangis…….
Namun hati tak dapat dipaksakan, dan anggukan di kepala hanya sebuah ungkapan tanda bakti dan hormat kepada orang tua, sehingga Dewi Mumupuni bersedia menjadi istri sang lelaki gagah perkasa itu. Dalamnya laut dapat diduga, namun dalamnya hati, siapa yang kira. Dewi Mumpuni sama sekali tak menyintai laki laki yang kini menjadi suaminya. Hatinya kosong,dan gersang bagai sebuah taman tanpa bunga, tanpa air kehidupan.
Suatu saat, berkunjunglah Bambang Nagatamala, putra dari Sanghyang Antaboga, dewa penguasa alam dalam bumi. Dan secara tak sengaja, Nagatamala bersua dengan Dewi Mumpuni. Masing masing tertesona akan keindahannya, dan jatuhlah kedua hati makhluk tersebut dalam sebuah bejana cinta. Hmmmmmm…….
Perasaan mereka semakin kuat, hingga suatu saat mereka mengatur rencana untuk pergi meninggalkan Kahyangan Hargodumilah untuk hidup bersama, di luar sepengetahuan lelaki perkasa itu. Dan rencana yang telah matang segera dilaksanakan. Namun rencana itu tak semulus yang dipikirkan. Seorang abdi mengetahuinya dan segera berlari untuk menyampaikan peristiwa memalukan tersebut, kepada yang berhak, yaitu seorang dewa, raja, dan sekaligus sang suami dari Dewi Mumpuni.
Raut mukanya, sang raja itu, mendadak berubah menjadi merah padam, matanya menatap tajam seseorang yang duduk bersimpuh dihadapannya dengan muka tertiunduk mohon ampun, belas kasihan. Seorang abdi istana telah melaporkan kejadian minggatnya istri tercinta, dengan sorang laki laki bernama Nagatamala. Bagaimaan ini bisa terjadi? Mendadak sontak tubuhnya yang tinggi besar itu terangkat ke angkasa dan melesat terbang, meninggalkan Kahyangan Hargodumilah, dan memburu seorang yang dianggapnya seorang durjana. Menuju istana Saptapratala, tempat kediaman Nagatamala.
Disana, dijumpainya sang istri sedang berdua dengan Nagatamala, maka perkelahian antara dua dewa pun tak terelakkan. Pertempuran yang dahsyat di atas langit itu, hingga membawa perbawa hingga ke bumi. Samudera menggelegak, angin topan mengamuk, hingga pohon pohon pohon tumbang, dan air hujan tiba dengan begitu derasnya.
Melihat peristiwa itu, Sang Batara Narada turun tangan dan melerai pertikaian. Dilihatnya Dewi Mumpuni tak bergeming, masih duduk di dekat singgasana Nagatamala. Maka, dapat dipastikan bahwa disitulah hatinya tertambat, tidak dengan suaminya. Batara Narada pun kemudian menjelaskan bahwa sudah merupakan takdir, bahwa Dewi Mumpuni merupakan pasangan dari Nagatamala. Maka, laki laki itu, suami dari Dewi Mumpuni, yang bergelar Sanghyang Yamadipati, harus merelakannya.
Dengan muka tertunduk, dan hancurnya segenap bahagian dari hatinya, Sanghyang Yamadipati pun mundur, terbang meninggalkan Kahyangan Saptapratala. Sedangkan sang istri, Dewi Mumpuni, tetap singgah di Saptapratala dan menjadi istri Nagatamala.
Betapa hancur perasaan Sanghyang Yamadipati. Istri yang sangat dicintainya, ternyata selama ini sama sekali tak menaruh hati padanya. Pergilah dia melalang buana, hingga beberapa warsa, Istana Hargodumilah kosong ditinggalkannya.
Sanghyang Yamadipati tetap melakukan kewajiban yang diembannya, sebagai dewa pencabut nyawa. Dalam perjalanan pengembaraannya, hatinya yang kosong dan hampa, menuntunnya pada sebuah perintah untuk mencabut nyawa seorang bernama Setyawan, seorang putra dari Brahmanaraja negeri Syalwa. Dia terbang mencari seorang yang bernama Setyawan, dan dengan kesaktiannya, tak sulit untuk segera menemukannya. Seorang jujur dan lurus, namun karena kehendak dewata, usianya harus sampai disini.
Masih kurang empat hari, saat Yamadipati harus mencabut nyawanya. Dan selama itu pula, Yamadipati selalu memperhatikan gerak gerik Setyawan. Satu hal yang sangat menarik perhatian dan menggugah hatinya, dimana disisi Setyawan, selalu terdapat seorang yang cantik jelita, dan berbudi luhur, serta sangat saying dan setia kepada Setyawan. Putri itu ternyata istrinya, yang bernama Sawitri.
Selama 3 hari menjelang kematian Setyawan, Sawitri melakukan puasa dengan berdiri tegak selama 3 hari 3 malam. Hari keempat, dimana hari itulah saat Setyawan harus mati, Sawitri mengikutinya kemanapun Setyawan pergi.
Pada saat mereka berdua pergi ke hutan, Sawitri mengikutinya dari belakang. Dan pada saat Sawitri mengumpulkan buah buahan sedangkan Setyawan membelah kayu kayu kering, mendadak dari wajah Setyawan mengalir deras peluhnya, dan tubuhnyapun terasa dingin. Setyawan berjalan pelan menghampiri Sawitri, untuk minta dipeluknya, hingga hangat tubuhnya.
Saat itu, teringatlah Sawitri akan pesan Batara Narada sewaktu dia menjatuhkan pilihannya untuk berusamikan Setyawan. Saat inilah rupanya kematian itu dating. Dan turunlah Sanghyang Yamadipati yang sejak dari 4 hari sebelumnya mengikuti dan mengamati. Dengan muka yang merah,mata menatap tajam,dan sebuah jerat melingkar di tangan kanannya, tahulah Sawitri bahwa yang dihadapinya adalah Sanghyang Yamadipati, dewa pencabut nyawa.
Saat dibawanya tubuh Setyawan oleh Sanghyang Yamadipati, Sawitri pun mengikutinya. Beberapa kali Yamadipati menyuruhnya untuk pulang, namun Sawitri tak bergeming sedikitpun. Yamadipatipun kehabisan akal, dan bertanyalah ;
“apa yang kau inginkan sawitri? Katakana, asal jangan minta suamimu hidup kembali”
“kemanapun suami hamba pergi, disitulah hamba berada. hamba minta kekuasaan dan kesehatan ayah mertua hamba dikembalikan seperti semula.”
“baik, aku kabulkan. Sekarang pulanglah, sebelum payah”
“hamba tak akan payah selama hamba berdampingan dengan suami yang jujur dan berbudi luhur”
“apa lagi yang kamu ingin Sawitri?”
“hamba mohon diberi 100 orang putera dan hidup di suatu kerajaan yang sejahtera, bahagia dan sempurna”
“baik, akan ku kabulkan. Sekarang pulanglah…”
“bagaiamana hamba bisa berputera 100 orang bila hamba tak bersuami? Tak ada gunanya hidup panjang dan bahagia bila tak ada suami di sisi hamba. Maka, hidupkan suami hamba….”
Mendengar perkataan itu, Yamadipati tertegun sejenak. Sekilas pikiranya melayang ke belakang, kepada sebuah peristiwa beberapa warsa lalu, saat dia ditinggalkan oleh istri tercintanya, Dewi Mumpuni.
“Andai kesetiaan Dewi Mumpuni seperti ini……….” Hatinya berbisik.
Tak terasa pipinya basah, air bening keluar dari kedua kelopak matanya.nafasnya tersendat, tenggorokannya kering.
“Sawitri, kesetiaanmu tiada tara…..”bisiknya dalam hati.
“Baik Sawitri, ku lepaskan nyawa suamimu, dan hiduplah kembali. Berbahagialah dengan suamimu, Setyawan, dan akan kuberi usia 100 tahun…”
Dan Yamadipatipun kemudian menghilang, terbang ke angkasa, dengan meninggalkan aroma wangi di sekeliling tubuh Setyawan.
Dan mereka berdua pun akhirnya hidup dalam bahagia, dengan 100 orang putera yang gagah laghi tampan.
Sanghyang Yamadipati pun tersenyum dalam tangis…….